Dinukil dari sebahagian ulama: jikalau seandainya anda yang membelikan kertas untuk malaikat yang mencatat amalan, sesungguhnya anda akan memilih lebih banyak diam dari pada banyak bicara”.
Imam Abu Hatim bin Hibbaan Al Busty berkata dalam kitabnya “Raudhatul ‘uqalaa’” halaman (45): “Suatu hal yang wajib dilakukan oleh orang yang memiliki akal sihat bahawa ia selalu diam sampai datang waktunya untuk berbicara, betapa banyaknya orang yang menyesal setelah ia berbicara, dan sedikit orang yang menyesal apabila ia diam, orang yang paling panjang penderitaanya dan paling besar cubaanya adalah orang yang memiliki lidah yang lancang dan hati yang tertutup”.
Dan ia (Ibnu Hibbaan) berkata lagi dalam kitabnya tersebut, halaman (47): “Suatu hal yang wajib dilakukan oleh orang yang memiliki akal sihat bahawa dia lebih banyak mempergunakan telinganya dari pada mulutnya, untuk dia ketahui kenapa dijadikan untuknya dua buah telinga satu buah mulut?, supaya dia lebih banyak mendengar dari pada berbicara, kerana apabila berbicara dia akan menyesalinya, tapi bila dia diam dia tidak akan menyesal, sebab menarik balik apa yang belum diucapkannya lebih mudah dari pada menarik balik perkataan yang telah diucapkannya, perkataan yang telah diucapkannya akan mengikutinya selalu, sedangkan perkataan yang belum diucapkannya dia mampu mengendalikannya”.
Imam Ibnu Hibbaan berkata lagi masih dalam kitabnya tersebut, halaman (49): “Orang yang berakal sihat lidahnya di belakang hatinya, apabila dia ingin berbicara, dia kembalikan kepada hatinya, jika hal itu baik untuknya baru dia bicara, jikalau tidak maka dia tidak bicara, orang yang dungu (tolol) hatinya di penghujung lidahnya, apa saja yang lewat di atas lidahnya dia ucapkan, tidaklah faham tentang agama orang yang tidak dapat menjaga lidahnya”.
Imam Al Bukhary meriwayatkan dalam shohihnya, hadits no (6477) dan Imam Muslim, hadits no (2988), menurut lafaz muslim, dari Abi Hurairah r.a bahawa Rasulullah S.a.w bersabda:
((إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَّلَمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنَ مَا فِيْهَا، يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ)).
“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan sebuah kalimat tanpa memikirkan apa yang terkandung dalamnya, sehingga dengan sebab kalimat tersebut ia dicampakkan ke dalam neraka yang jaraknya lebih jauh antara timur dan barat”.
Dalam potongan terakhir dari wasiat nabi terhadap Mu’az bin Jabal yang disebutkan oleh Imam At Tirmizi dalam sunannya, hadist no (2616) ia katakan :”ini hadist hasan dan shohih”. Bahawa Rasulullah S.a.w bersabda:
((وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ)).
“Tiadalah yang membantingkan manusia ke dalam neraka di atas muka atau hidung mereka melainkan akibat perbuatan lidah mereka”.
Hadist ini sebagai jawapan terhadap pertanyaan Mu’az kepada Nabi S.a.w: “Wahai Nabi Allah apa kita akan di’azab dengan sebab apa yang kita ucapkan?”.
Al Hafiz Ibnu Rajab mensyarahkan hadits tersebut dalam kitabnya “Jami’ul ‘Ulum wal Hikam” (2/147): “Yang dimaksud dengan “perbuatan lidah” adalah balasan dan hukuman terhadap pembicaraan yang diharamkan; kerana manusia bagaikan menabur benih kebaikan dan keburukan dengan perkataan dan perbuatannya, kemudian pada hari kiamat akan ditunjukkan apa yang ditaburnya, barangsiapa yang menabur kebaikan baik berupa perkataan ataupun perbuatan ia akan menuai kemuliaan, sebaliknya barangsiapa yang menabur keburukan baik berupa perkataan atau pun perbuatan ia akan menuai penyesalan”.
Ia (ibnu Rajab) berkata lagi dalam bukunya tersebut (2/146): “Ini menunjukkan bahawa menjaga lidah dan mengontrolnya serta menahannya adalah sumber kebaikan seluruhnya, sesungguhnya barangsiapa yang mampu menguasai lidahnya, sungguh ia telah menguasai dan mengontrol serta bijaksana dalam urusannya”.
Kemudian Ibnu Rajab menukil sebuah perkataan dari Yunus bin ‘Ubaid, sesungguhnya ia berkata: “Tidak seorang pun yang aku lihat yang lidahnya selalu dalam ingatannya, melainkan hal tersebut berpengaruh baik terhadap seluruh aktivitinya”.
Diriwayatkan dari Yahya bin Abi Katsrir, bahawa ia berkata: “tidak aku temui seorang pun yang ucapannya baik melainkan hal tersebut terbukti dalam segala aktivitinya, dan tidak seorang pun yang ucapannya buruk melainkan terbukti pula hal tersebut dalam segala aktivitinya”.
Imam Muslim meriwayatkan dalam shohihnya, hadits no (2581) dari Abu Hurairah bahawa nabi S.a.w bersabda:
((أَتَدْرُوْنَ مَا الْمُفْلِسُ؟، قَالُوْا: الْمُفْلِسُ فِيْنَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ، فَقَالَ: إِنَّ الْمُفْلِسَ مَنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ، وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا، وَقَذَفَ هَذَا، وَأَكَلَ مَالَ هَذَا، وَسَفَكَ دَمَّ هَذَا، وَضَرَبَ هَذَا، فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يَقْضِى مَا عَلَيْهِ أَخَذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ)).
“Apakah kalian tahu Siapakah orang yang muflis (bankrup)?, para sahabat menjawab: orang yang muflis adalah orang yang tidak punya wang (dirham) dan tidak pula harta benda, lalu beliau bersabda: orang yang muflis dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan amalan sholat, puasa dan zakat, namun ia datang dalam keadaan telah mencaci orang lain, menuduhnya, memakan hartanya dan menumpahkan darah serta memukulnya, maka amalan baiknya diberikan kepada masing-masing orang tersebut, maka apabila kebaikannya habis sebelum melunasi hutang-hutangnya, maka diambil dari dosa masing-masing orang tersebut lalu diletak di atasnya, kemudian ia dicampakkan ke dalam neraka”.
Imam Muslim meriwayatkan lagi dalam shohihnya, hadits (2564) dari Abu Hurairah dalam sebuah hadits yang cukup panjang, yang pada akhir hadits tersebut diungkapkan:
((بِحَسْبِ امْرِءٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمُ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ ؛ دَمُّهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ)).
“Cukuplah untuk seseorang sebuah kejahatan bahawa ia menghina saudaranya sesama muslim, segala sesuatu antara muslim terhadap muslim lainnya haram; darahnya, hartanya dan kehormatannya”.
Imam bukhari meriwayatkan dalam shohihnya, hadits no (1739) dan Imam Muslim, yang ini menurut lafaz Bukhari, dari Ibnu Abbas r.a bahawa Rasulullah S.a.w berkhutbah pada hari nahar (idul adha), beliau bertanya kepada manusia yang hadir waktu itu : Hari apakah ini?, mereka menjawab: hari yang suci, beliau bertanya lagi: negeri apakah ini?, tanah suci, beliau bertanya lagi: bulan apakah in?, bulan yang suci, selanjutnya beliau bersabda:
((فإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فَأَعَادَهَا مِرَاراً، ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ: اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ؟ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ؟، قَالَ ابْنُ عَبَاسٍ رضي الله عنهما فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّهَا لَوَصِيَّتُهُ إِلَى أُمَّتِهِ فَلْيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ لاَ تَرْجِعُوْا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ)).
“Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan sesama kalian diharamkan di atas kalian (untuk merosaknya) sebagaimana kesucian hari ini pada bulan yang suci ini di negeri yang suci ini, beliau mengulangi ucapan tersebut beberapa kali, lalu berkata: Ya Allah apa aku telah menyampaikan (perintahMu)?, Ya Allah apa aku telah menyampaikan (perintahMu)?.
Berkata Ibnu Abbas r.a : Demi Allah yang jiwaku berada ditanganNya, sesungguhnya ini adalah wasiatnya untuk umatnya, maka hendaklah yang hadir memberitahu yang tidak hadir, “janganlah kalian kembali sesudahku kepada kekafiran, yang mana sebahagian kalian memenggal leher yang lainnya”.
Imam Muslim meriwayatkan dalam shohihnya, hadits no (2674) dari Abu Hurairah r.a bahawa Rasulullah S.a.w bersabda:
((مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلَ أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ اْلإِثْمِ مِثْلَ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا)).
“Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, ia akan mendapat pahala sebanyak pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala mereka, barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, ia akan menanggung dosa sebanyak dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikit pun dari dosa mereka”.
Berkata Al Hafiz Ibnu Munzir dalam kitabnya “Attarghib wa Attarhiib” (1/65) dalam mengomentari hadits:
((إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ إِحْدَى ثَلاَثَ ....)).
“Apabila anak adam meninggal maka terputuslah segala amalannya kecuali tiga hal ….”
Ia (Ibnu Munzir) berkata : “Orang yang mencatat ilmu yang berguna baginya pahala dan pahala orang yang membacanya atau orang menyalinnya atau beramal dengannya sesudahnya selama tulisan tersebut dan beramal dengannya masih tetap ada, sebaliknya orang yang menulis hal yang tidak bermanfa’at adalah diantara sesuatu yang mewajibkan dosa, baginya dosanya dan dosa orang yang membacanya atau menyalinnya atau beramal dengannya sesudahnya selama tulisan tersebut dan beramal dengannya masih tetap ada, sebagaimana yang diterangkan dalam hadits-hdits yang telah berlalu diantaranya hadits:
((مَنْ سَنَّ سُنَةً حَسَنَةً أَوْ سَيِّئَةً )).
“Barangsiapa yang membuat sunnah yang baik atau yang buruk”, hanya Allah yang Maha Tahu”.
Imam Bukhari meriwayatkan dalam shohihnya, hadits no (6502) dari Abu Hurairah bahawa Rasulullah S.a.w bersabda:
((إِنَّ اللهَ قَالَ: مَنْ عَادَى لِي وَلِياًّ فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ)) الحديث.
“Sesungguhnya Allah berkata: Barangsiapa yang memusuhi para wali ku, maka sesungguhnya Aku menyatakan peperangan terhadapnya”.
No comments:
Post a Comment