Hidup di dunia ini adalah ujian. Setiap masa dan ketika ujian pasti akan datang. Ujian senang, ujian susah, ujian bala musibah dan macam-macam lagi.
Apabila musibah menimpa kita, maka kita harus segera mengambil sikap agar beban menjadi ringan bahkan menjadi rahmat. Kita tidak jadi orang hilang pedoman dan arah tuju......maki hamun, merepek, bertindak luar batasan syariat dan lain-lain.
* Pertama, apabila ditimpa musibah hendaknya kita membaca ’innaa lillaahi wainnaa ilaihi raaji’uun’ (“Sessungguhnya kita milik Allah dan kepadaNyalah kita akan dikembalikan”). Allah Ta’ala berfirman,
“iaitu orang-orang yang jika ditimpa musibah mereka mengucapkan “innaalillaahi wa-innaa ilaihi raaji’un”.
Rasulullah bersabda,
“Tidaklah seorang hamba ditimpa musibah lalu beristirjaa’ niscaya Allah Ta’ala akan memberi ganjaran pada musibahnya dan akan menggantikannya dengan yang lebih baik darinya”. (HR.Muslim)
Ucapan istirja’ mengandung pengertian bahwa diri kita, keluarga dan harta benda adalah milik Allah Ta’ala. Ketika kita lahir, kita tidak memiliki apa-apa. Demikian pula sampai kita meninggal nanti kita tidak akan membawa apa-apa. Semua itu akan kita tinggalkan dan kita
tidak akan membawa sesuatu, kecuali amal shalih kita. Karena itu, persiapan diri adalah mutlak untuk menghadapi hari tersebut.
* Kedua, hendaknya kita yakin dengan takdir Allah Ta’ala baik dan buruknya. Ini penting, karena keyakinan dengan rukun iman yang keenam ini akan meringankan beban kita. Iman kepada takdir memberi kita semacam ‘kekebalan dini’ dengan kesadaran sedalam-dalamnya bahwa segala sesuatu yang telah, sedang dan akan terjadi itu telah tertulis di lauh al-mahfuzh. Dengan demikian, apapun yang menimpa kita tetap berada di dalam bingkai kesadaran, sehingga musibah akan terasa lebih ringan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam do’anya
yang terkenal, “…anugerahkanlah pada kami keyakinan yang menjadikan musibah terasa ringan…”. (HR. at-Tirmidzi dan al-Hakim).
Allah Ta’ala berfirman, artinya, “Tiada satu bencanapun yang menimpa di muka bumi dan tidak pula pada dirimu kecuali telah tertulis pada kitab sebelum kami menciptakannya. Sunggguh, yang demikian itu mudah bagi Allah. Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu dan agar kamu tidak terlalu gembira dengan apa yang diberikan Allah padamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri”. (QS. Al-Hadiid: 22-23)
Ketika ada hal-hal yang luput, mengalami penderitaan, menghadapi kesulitan, kita tidak terlalu bersedih hati dan menjadikan kita berprasangka buruk kepada Allah.
* Ketiga, hendaknya kita bersyukur karena musibah yang menimpa kita tidaklah lebih besar dari yang menimpa orang lain. Begitu banyak orang yang mendapatkan musibah jauh lebih mengenaskan daripada kita. Seberat apapun musibah dunia yang menimpa kita, yakinlah masih ada lagi yang lebih berat. Tidak sedikit orang yang sebenarnya terkena musibah tapi dia tidak menyadarinya, yakni’ tertimpa musibah dalam agamanya. Yang mengherankan adalah tidak sedikit orang terjatuh pada musibah agama (musibah diniyah), namun ia sedikitpun tidak merasa sedih. Terjatuh pada perzinahan, makan riba, membunuh jiwa yang tidak halal, pergi ke dukun atau tukang ramal dan membenarkannya adalah di antara musibah diniyah, bahkan yang terakhir bisa menggelincirkan pelakunya dari Islam..
Itulah sebabnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kita sebuah do’a agar kita tidak terjerumus musibah ini.
Dalam do’anya beliau bersabda, “Ya Allah jangan engkau jadikan musibah kami dalam agama kami”. (HR. Tirmidzi dan Hakim)
* Keempat, hendaknya kita sedapat mungkin tidak berkeluh kesah, menggerutu atas musibah yang melanda kita. Sebab itu semua tidak akan mengembalikan apa yang telah hilang. Berkeluh kesah juga menunjukkan seseorang tidak redha dengan takdir Allah Ta’ala. Bagi mereka yang menjaga shalatnya, menjaga kehormatannya, menunaikan zakat, beriman kepada Allah Ta’ala dan Hari Kemudian, maka tidak akan berkeluh kesah.
Mengeluh kepada manusia juga tidak tidak memberi banyak manfaat, karena bisa menodai kesabaran dan keridhaan. Para salafus solih jika mereka ditimpa musibah sekecil apapun, ia langsung mengeluhkannya kepada Allah. Bahkan di antara mereka ada yang mengeluh kepada Allah karena tali sendalnya putus. Kalau musibah mereka tergolong berat, seperti kematian anak, orang tua, kerabat dan lain-lain mereka berusaha menyembunyikannya dan tidak mengabarkannya kecuali untuk urusan memandikan, menshalatkan, dan menguburkannya.
* Kelima, kita harus yakin bahwa apa yang menimpa jika kita sabar dan redha, maka Allah Ta’ala pasti memberikan gantinya. Allah Ta’ala akan memberi kenikmatan, berkah, kelezatan, kebaikan yang berlipat ganda.
Bahkan musibah yang melanda akan menghapuskan dosa-dosa dan akan menyucikan jiwa-jiwa kita. Allah Ta’ala berfirman, artinya, “Mereka itulah yang akan mendapatkan shalawat dari Tuhannya, rahmat dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk” . (QS. al-Baqarah: 157).
Semoga kita menyikapi setiap bencana yang menimpa kita dengan baik dan benar. Sabar dan redha serta selalu bersyukur kepada Allah Ta’ala, insyaAllah kita akan mendapatkan kelezatan iman.
Salam.barakallahu fik ya ustz.posting yg m'nrik.
ReplyDeletejazakallah bikhoir, mhn izin utk menyimpan tulisan ini ustaz..
ReplyDelete